Berfoto Bersama Sobat Super
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 17 February 2016, saya mengunjungi Museum De' ARCA statue art museum di kawasan XT Square. Sebuah kawasan perbelanjaan kerajinan dan produk kreatif lainnya. XT square berada di area yang cukup luas yang sebelumnya merupakan kawasan terminal bis antar kota antar propinsi, dan dibangun untuk menunjang industri wisata kota Yogyakarta.
Belum cukup lama sebetulnya saya mengetahui bahwa di area tersebut dibangun sebuah "museum" yang berisi patung-patung tokoh nasional dan dunia. Hingga kemudian pada suatu kesempatan saya membeli sebuah lensa bekas yang cukup bagus. Seperti yang sudah sudah-semangat untuk kembali memotret- dan terutama saya memang sangat tertarik untuk memotret/ objek tiga dimensi dimanapun saya menjumpainya. Seperti yang sudah sempat saya kumpulkan dalam sebuah buku berjudul I SHOT! (2008-2011) yang dihantar dengan sebuah tulisan Nuraini Juliastuti, hasil pengamatan pada beberapa patung dan wawancaranya kepada seorang pembuat patung di Yogyakarta.
Kembali ke museum De' ARCA, ketika membeli tiket masuk di loket museum tersebut, salah seorang petugas tiket mengatakan bahwa jika saya ingin berfoto, silakan menyampaikannya kepada petugas yang berseragam kuning seperti yang ia kenakan. Baik, saya akan melakukannya ujar saya, membalas jawaban petugas tersebut ketika saya bertanya; "Apakah saya boleh memotret di dalam museum?"
Kemudian yang membuat saya heran adalah ketika saya hendak masuk ke dalam museum, petugas pintu masuk mengatakan hal yang sama, bahwa jika saya ingin berfoto silakan menyampaikan kepada petugas yang berseragam seperti yang ia kenakan. Hmm.. ada apa ini? Tanya saya dalam hati.
Tidak cukup banyak pengunjung pada pukul dua siang hari Senin saat itu. Wah.. menarik juga saya temui berderet deret patung realistik berdiri berjejeran di sebelah kanan dan kiri sisi ruangan museum tersebut. Patung pahlawan nasional dan pahlawan perjuangan bangsa Indonesia. Segeralah saya mengeluarkan kamera dengan lensa manual ber focal length 50mm, yang baru saya beli tsb.
Saya mulai memotret patung Pangeran Diponegoro pemimpin Perang Jawa, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanudin yang berdiri berurutan membelakangi sebuah gambar foto lanskap perbukitan hijau yang dicetak di atas bahan vinyl -yang banyak digunakan untuk media promosi luar ruang- ditempel memenuhi dinding.
Sebenarnya menggunakan lensa manual cukup menyulitkan dan memerlukan sedikit waktu bagi mata saya saat ini, yang sudah minus dan plus. Tetapi untunglah tidak terlalu banyak pengunjung saat itu sehingga saya bisa sedikit berlama lama dalam membidik sasaran saya. "Mau difotoin mas?" Seorang petugas perempuan dengan ramah menawarkan layanan untuk saya jika ingin berfoto di samping patung-patung tersebut.
Hingga kemudian berangsur angsur beberapa pengunjung datang; remaja-remaja putri berkerudung, berdua, bertiga, atau dengan kelompok kecil menyerbu patung-patung yang berdiri berderet di atas bentangan karpet berwarna merah.
Mereka sedikit mengacaukan niat saya yang ingin memotret secara berurutan satu persatu patung patung dalam museum tersebut tanpa terlewatkan. Namun sepertinya saya harus melupakan niat saya tersebut, karena misalnya saya harus bergeser memotret patung Susilo Bambang Yudhoyono ketika seharusnya saya memotret patung Gubernur DKI, Ahok (Basuki Cahaya Purnama) namun segera diserbu pengunjung yang ingin berfoto bersama Ahok.
Demikianlah yang terus harus saya lakukan selama sore. Memotret seluruh patung secara acak sembari bernegosiasi dengan situasi.
Sekitar pukul 3.30 pengunjung semakin ramai berdatangan, anak-anak bersama orangtuanya, rombongan ibu-ibu, yang datang bersama pacar dan yang datang bersama seluruh keluarga kakek nenek paman dan seterusnya.
Saya sendiri masih sedikit berusaha mengurutkan dalam melihat dan memotret patung-patung tersebut. Saya tidak berusaha langsung melihat keseluruhan patung-patung yang terbuat dari bahan fiber yang diwarnai/ dilukis secara realistik untuk menunjukkan bulu-bulu, warna kulit, mata dan seterusnya. Beberpa patung ada yang diberi pakaian beneran, dan banyak juga yang pakaiannya juga bagian dari cetakan fiber yang kemudian dicat atau dilukis layaknya warna baju. Kemudian baru terjawab keheranan saya ketika pengunjung-pengunjung tersebut mulai menghampiri dan menyerbu patung-patung yang berdiri kaku, menjejeri lalu berpose, tersenyum, menunjukkan dua jari tanda victory dan seterusnya. Ada yang berfoto bergantian dengan teman, ada yang memotret sendiri atau selfie. Sebuah fenomena yang mendunia, menjangkiti siapa saja, tua muda miskin kaya, dari orang biasa hingga tokoh dunia. Fenomena yang salah satu pendorongnya adalah gawai dan media sosial ini telah berlangsung sekurang-kurangnya tiga hingga empat tahun terakhir. Terlebih di kota dimana saya tinggal dan bekerja. Para pelakunya kebanyakan adalah para remaja. Tidak hanya pemandangan alam dan cagar budaya , mereka juga menyerbu perhelatan seni rupa. Mereka akan berselfie dimana saja, kapan saja selama berada di situasi yang mereka anggap menarik, bertemu dengan idola atau tokoh yang menarik lainnya, menarik bagi mereka sendiri maupun menarik untuk dibagikan kepada teman-teman di media sosial. Kemudian dalam hati saya berujar.. ah bisa aja nih pendiri De'ARCA, sangat tanggap dalam menagkap fenomena selfie ini.
Masuk ke ruang kedua museum De'ARCA, saya kembali dikagetkan karena dibagian Tokoh Dunia ini terdapat patung Adolf Hitler, dan diujung sebelah kiri sederet Hitler ada John Rambo! Hehehee.. jagoan di film RAMBO, produksi Holywood dan diperankan oleh Sylvester Stallone. Setelah saya lihat secara seksama bahwa ruangan ketiga atau terakhir ini adalah ruangnya pahlawan super, dari komik terbitan Marvel, bercampur dengan pemain bola (Christiano Ronaldo, Lionel Messy) Penyanyi Katy Perry, Harry Potter, Steve Job dan tokoh agama, hmmm.. hahahaaaaa… ada ada saja, begitulah pikiran saya.
Demikianlah di ruang ini saya harus berbolak balik untuk memotret karena semakin sore semakin ramai pengunjung menyerbu patung-patung tersebut. Hingga kali ini saya benar-benar mengamati dan memotret aktivitas pengunjung yang berselfie.
Ada rombongan ibu-ibu yang bergantian bersalaman dengan Pak Jokowi.
Seterusnya banyak rombongan anak muda berfoto dengan Hulk,
Pasangan China berfoto bersama Jacky Chan,
seorang perempuan meminta pacarnya untuk memotret dirinya berdampingan dengan David Beckham yang bertelanjang dada.
Namun yang membuat saya kaget adalah pasangan muda mudi yang mengangkat tangan, berpose seolah sedang memberi hormat pada Hitler. Kekagetan saya melihat hal ini sebenarnya karena saya melihat peristiwa ini dengan berjarak, berandai bahwa saya bukan orang Indonesia (katakanlah Eropa) atau saya orang yang punya pengalaman langsung dan kesadaran memiliki ideologis atas sejarah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Nazi pada lalu. .
Tetapi kemudian saya ingat lagi bahwa di sini banyak juga ditemui poster bergambar foto Hitler dijual di pinggir jalan, dan tidak pernah jelas betul bagaimana dan mengapa orang menjual dan membeli poster tersebut. Sama halnya dengan patung di museum De'ARCA ini saya bisa mengerti kenapa bisa patung Adolf Hitler di sini, karena dia memang merupakan tokoh dunia seperti halnya Sukarno, Mao Zedhong, Ibu Theresa dan sebaginya. Hanya saja tidak ada patung Frankenstein, Master Yoda, Fidel Castro dan Che Guevara.
Belum sampai pertanyaan-pertanyaan saya terjawab, tiba-tiba seorang pemuda menghampiri saya yang sedang berdiri di sekitar patung Hitler, meminta saya untuk meotret dia dan ibunya untuk memotret mereka bersama patung Hitler, seraya menyodorkan kamera smartphone nya. Kemudian saya segera memotret mereka dan tentu saja juga menggunakan kamera saya sendiri untuk mengabadikan peristiwa yang serasa foto keluarga ini. Apa yang ada di benak pemuda tersebut? Dorongan apa yang membuatnya ingin berfoto bersama ibunya yang berkerudung berdampingan dengan Adolf Hitler?
Tidak lama setelah saya memberikan kembali kamera smartphone kepada pemuda tadi, seorang anak perempuan bersama dua orang adik laki-lakinya mengajak berfoto bersama dengan patung Adolf Hitler. Segera kemudian saya yang masih di sekitar patung tersebut memotret peristiwa aneh ini. Di tengah proses memotret sang adik terkecil bertanya kepada kakak perempuan; "Apa hebatnya dia?", sambil mengatur genggaman tongsis (tongkat narsis) dan mengatur arah kamera smartphonenya, si kakak perempuan menjawab; "Dia kejam!"
Hmmm.. Bagaimana ya, kok bisa punya keinginan berfoto dengan orang yang kejam?!
Apa sih yang mendorong keinginan tersebut, sekedar iseng? Apakah hanya karena bentuk, wujud penggarapan patungnya yang bagus dan mirip dengan aslinya? Atau berfoto merupakan aksi mengolok-olok atau mengejek?
Aah sudahlah lagian ini kan cuman patung, dalam hati saya mengibur diri, sembari memasukkan kamera ke dalam tas, untuk bersiap pulang, setelah hampir semua patung sudah saya foto dan museum segera tutup. Waktu menunjukkan pukul 6.10 petang, saya pengunjung ketiga yang terakhir pulang karena masih ada dua orang pengunjung lain yang masih berfoto-fotoan.
Malam hari bahu saya pegal-pegal mata terasa lelah karena kelamaan menahan kamera dan mencari titik fokus. Lensa bekas yang baru saya beli ini masih cukup bagus dan lensanya sangat tajam, tidak ada persoalan. Yang memiliki persoalan justru gambar atau foto-foto yang saya dapatkan selama di museum tersebut.
Alih alih mengunggah foto-foto patung tersebut, saya malah memunculkan gambar problematik itu di blog ini.
Jika di jaman kolonial, medium fotografi digunakan hanya oleh penguasa dan hanya bisa diakses oleh sedikit orang berpunya, namun sekarang persoalan baru bermunculan ketika medium yang bisa dibilang paling demokratis ini bisa digunakan dengan mudah nyaris oleh siapapun untuk kepentingan apapun.
Dalam sebuah diskusi Akiq mengatakan bahwa "Sekarang fotografi dipakai sebagai benteng terakhir orang untuk tetap sadar dengan kehidupannya sehari-hari, karena kita dibombardir sama foto-foto, sama imaji-imaji di semua tempat, internet, televisi. Maka mereka menggunakan fotografi juga untuk merekam kehidupannya
sehari-hari sebagai taktik untuk tetap sadar, berpijak pada realitasnya sendiri." (Cerita Sebuah Ruang, Menghidupi Ekspektasi: Membaca Fotografi Kontemporer Indonesia Melalui Praktik Ruang Mes 56, hal 51-52)Namun pertanyaannya kesadaran macam mana? Kesadaran untuk merekam kehidupannya sendiri setelah melihat kehidupan selebriti-selebritti yang ditunjukkan di televisi? Tentu saja sikap resistansi semacam ini juga penting dan diperlukan untuk tadi, berpijak pada realitasnya sendiri-tetep ngambah lemah kata orang Jawa. Menurut saya kesadaran saja tidak cukup, yang dibutuhkan juga berbagai bekal pengetahuan agar terbangun (dan membangun) sikap kritis. Karena tanpa pengetahuan dan sikap kritis yang terjadi hanyalah reproduksi reproduksi tanpa kritisisme seperti yang telah sedang menggejala di masyarakat kita.
Melihat hasil foto-foto dan menjadi bagian perstiwa sore tersebut di Museum De'ARCA, saya melihat ada persoalan baru atau sebenarnya persoalan lama yang baru tampak setelah alat kuasa dan kontrol ada di tangan masyarakat kita.
Lalu tugas atau tanggungjawab siapakah yang seharusnya memikirkan dan menguraikan persoalan-persoalan sosial tersebut dan seharusnya mengambil wajib peran ? Negarakah? Institusi pendidikan? Ruang Mes 56 ? Hmmm.. Saya pikir kita memang masih memerlukan kerja-kerja dari sobat-sobat super yang bukan cuman omong doang dan tentu saja bukan patung!
Langganan:
Postingan (Atom)