Saya merasa sedih ketika melihat berita mengenai tindakan menggusur rumah-rumah dan lahan pertanian warga Kulon Progo dimana lingkungan hidup mereka akan dijadikan lokasi bandar udara Yogyakarta yang baru. Yang lebih menyedihkan lagi karena penggusuran ini juga disertai tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepada warga yang berusaha mempertahankan rumah mereka. Saya merasa bahwa apapun alasan penggusuran, merobohkan, menghancurkan, menghilangkan "Rumah" (dengan berbagai makna dan arti) ditambah tindakan kekerasan adalah hal yang tidak berperikemanusiaan, apalagi saya dengar bahwa terjadi mal administrasi dalam proses pelaksanaan relokasi tersebut.
Menurut saya tindakan-tindakan yang tidak berperikemanusiaan seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi, dan barangkali tidak akan terjadi, jika jauh-jauh hari bahkan tahun tahun sebelum pelaksanaan relokasi, terjadi diskusi yang intensif diantara tim panitia pelaksana, stakeholder, pemerintah sebagai penentu kebijakan dan pihak-pihak terkait dengan segala kapasitasnya melibatkan warga, duduk berbicara bersama warga dalam memikirkan dan mencari solusi bersama yang lebih adil dan lebih berpihak pada masa depan warga dengan pertimbangan bahwa sebagian besar hidup mereka dengan bertani.
Ketika saya akhirnya berkesempatan berkunjung ke Temon pada tanggal 4 Februari lalu, untuk rangkaian Festival Guyup Murub yang diadakan oleh beberapa kelompok seniman dan aktivis, baru lah kemudian seluruh perangkat inderawi dan tubuh saya mengalami dan teringat pada pemandangan yang kurang lebih sama seperti pada bulan Mei 2006 ketika terjadi gempa di Yogyakarta. Nyawa manusia melayang, rumah-rumah roboh hancur berantakan, tubuh manusia dan benda-benda berserakan. Situasi yang porak poranda karena kebesaran dan kuasa alam. Namun pada saat itu saya justru melihat harapan, menemu dan merasakan kasih juga mengalami kemanusian.
Sedang di Temon saya melihat pemandangan rumah-rumah yang hancur, kebun-kebun dan rumah-rumah yang sudah rata dengan tanah, bukan karena kuasa alam, tetapi karena buldozer, karena tindakan manusia yang merasa lebih berkuasa dan berhak bertindak sewenang-wenang atas manusia lainnya, tindakan yang sudah tidak layak disebut sebagai manusia. Di sana saya melihat runtuhnya dan betapa porak poranda nilai-nilai kemanusian.